Pada hari terakhir di Jepang, saya memutuskan mengunjungi Yokohama.
Jarak dari Tokyo ke Yokohama ditempuh hanya dalam 30 menit dengan kereta
bawah jalur oranye, Tokyu Toyoko dari Shibuya.
Tujuan pertama
adalah Chinatown (atau biasa disebut Yokohama Chukagai), yang memang
menjadi stasiun terakhir jalur oranye ini. Daerah yang terletak di
Yokohama pusat ini merupakan kota pecinan terbesar di Jepang.
Berbeda
dengan kota pecinan lainnya, Yokohama Chukagai ini terlihat tidak
terlalu sibuk dan ramai. Yang paling mencolok dari daerah ini adalah
jajaran restoran dan toko obat tradisional dan toko oleh-oleh.
Salah satu pemandangan di Taman Yamashita.
Yang terakhir ini, terus terang, malas saya datangi karena beda-beda
tipis dengan Hongkong tetapi harganya lebih mahal. Saya lebih tergiur
dengan jajaran kios camilan dan jajanan pasar, terutama bakpao (manju).
Tiap sepuluh meter, hampir pasti ada yang menjual bakpao.
Klenteng
Kanteibyo dan pintu gerbang warna-warni, yang cukup banyak ditemui di
beberapa jalan, juga jadi daya tarik sendiri. Pintu gerbang bersama
dengan lampu lampion merah bisa dibilang jadi ciri khas daerah ini.
Bagus buat lokasi foto-foto.
Yang agak mengejutkan, ternyata
klenteng yang dibangun tahun 1873 ini tidak terlalu besar seperti di
dalam gambar.
Kapal besar Hikawa Maru.
Hanya lima menit berjalan kaki dari kota pecinan, saya langsung
menemukan taman Yamashita. Menyusuri taman sepanjang 750 meter yang
menghadap lautan ini sangatlah menyenangkan. Sambil duduk di bangku
taman, saya melihat kapal besar Hikawa Maru di sisi kanan dan jajaran
taman bunga asri di sisi kiri. Menengok ke belakang, terlihat menara
observasi marinir Yokohama setinggi 106 meter.
(Oh ya, kabarnya
kapal ini ketika beroperasi di tahun 1930 sempat mengangkut Charlie
Chaplin dalam salah satu perjalanannya dari Seattle ke Yokohama).
Walau
hanya duduk-duduk, saya sangat menikmati pemandangan di sekitar taman
ini. Aktivitas warga Yokohama di taman ini pun cukup menarik. Ada yang
menggunakan taman ini sebagai tempat joging, membawa anjing
berjalan-jalan atau pasangan yang membawa bayinya menikmati terik
matahari pagi menjelang siang. Namun yang paling unik adalah saat
melihat sekelompok orang tua sedang asyik melukis pemandangan.
Daerah Minato Mirai 21.
Kapal laut besar, dermaga dan lautan sepertinya tidak bisa dipisahkan
dari kota yang terletak di teluk Tokyo ini. Begitu juga, sisa-sisa
peninggalan Amerika seperti meriam, kapal tua, dan beberapa gudang pun
terlihat hampir di beberapa sudut kota.
Puas menikmati taman,
saya lanjut melangkahkan kaki menuju daerah Minato Mirai 21, terutama
menara Landmark, yang merupakan gedung tertinggi di Jepang. Selain ingin
melihat seperti apa dalamnya, saya juga berharap bisa mampir ke mal
sebelahnya, Landmark Plaza dan Queen’s Square. Saya juga mampir ke Hard
Rock Café untuk membeli cendera mata dan makan siang.
Di
seberang Hard Rock Café, tampak kincir angin yang merupakan satu bagian
atraksi dari taman hiburan Cosmo World. Kincir angin ini bersama dengan
gedung Landmark menjadi dua bangunan yang menjadi ciri khas Yokohama.
Setelah
puas memborong beberapa T-shirt di outlet Uniglo di Queen’s Square,
saya segera menyeberang jalan dan menuju lokasi kunjungan terakhir saya
di Yokohama: dermaga Osanbashi.
Dermaga Osanbashi di Yokohama.
Selama berjalan menuju lokasi, godaan berbelanja cukup banyak karena
saya menemukan dua mal besar lagi yang membuat perut pulas (ehem, Hello
Kitty!), World Porters dan Red Brick Warehouse (Akarenga Soko). Mal yang
terakhir ini cukup unik. Berhubung gedung tersebut bekas gudang
pelabuhan, malnya agak temaram.
Mal yang bekas gudang pelabuhan, Red Brick Warehouse.
Seperti juga taman Yamashita, dermaga Osanbashi juga jadi tempat
nongkrong yang asyik. Setelah dibangun ulang pada 2002, dermaga ini
menjadi terminal penumpang untuk kapal-kapal pesiar dari luar negeri
yang masuk lewat Yokohama.
Yang agak menyakitkan mata adalah
beberapa tuna wisma yang tertidur di bangku taman. Tak sangka, kota
pelabuhan mewah seperti ini pun punya masalah yang sama juga ya.