TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Presiden
Jusuf Kalla menasihati pemerintah agar tidak menggunakan pihak ketiga
untuk menyelesaikan permaslahan tanah Papua. Kalaupun terjadi konflik,
pemasalahan tersebut terjadi antara masyarakat dengan pemerintah, tidak
boleh melibatkan pihak asing. Penanganannya pun harus hati-hati, sebab
jika salah, konflik akan meluas melebihi kasus Aceh.
Kalla pun mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu larut dalam
situasi konflik di Papua. Menurutnya, konflik itu bisa saja meluas
melebihi konflik sebelumnya, bila tidak ditangani sedini mungkin.
"Pemerintah harus segera turun langsung menyelesaikan masalah konflik
tersebut. Pakai komunikasi yang baik dan bersolusi," kata JK usai
menghadiri peluncuran buku di Hotel Sahid, di Jakarta, Selasa (8/11).
Ia juga menilai konflik Papua bisa saja meluas melebihi Aceh, bila
tidak ditangani secara serius oleh pemerintah saat ini. "Semua tidak
akan meluas, bila pemerintah mau menangani penyelesaiaan konflik
tersebut secara cepat," ujarnya.
Kendati demikian, JK menganggap bahwa pemicu konflik itu sebenarnya
bukan dilatar belakangi oleh agama, ras atau apapun. Menurutnya, konflik
terjadi karean ketidakadilan ekonomi pembangunan oleh pemerintah. Ada
ketimpangan ekonomi, mereka bukan mempermasalahkan agama, ras, budaya
atau apapun, tetapi ekonomi yang mereka permasalahkan.
"Jangan pakai pihak ketiga, ini urusannya pemerintah dengan
masyarakat," ujar JK. JK menceritakan pengalamannya dalam menyelesaikan
konflik-konflik di daerah saat masih menjabat wakil presiden.
"Semua itu harus ditangani langsung oleh pemerintah, lihat saya waktu
itu atas nama pemerintah, saya turun langsung ke Poso, Maluku, Aceh,
tanpa pihak ketiga di luar pemerintah. Strateginya memang harus seperti
itu. Kalau pemerintah turun langsung, masyarakat dapat menilai perhatian
pemimpin kepada rakyatnya," tutur JK, mantan Ketua Umum Partai Golkar.
Kemarin, kepolisian memperketat pengamanan di lokasi penembakan
Briptu Marselinus, Mile 45 akses PT Freeport Indonesia, Timika, Papua.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Polri, Kombes (Pol) Boy
Rafli Amar, mengatakan langkah ini adalah upaya peningkatan kewaspadaan
mengingat pelaku penembakan menyerang secara tiba-tiba.
"Upaya-upaya untuk meningkatkan kewaspadaan di Mile 45 terus
dilakukan. Karena lokasi ini yang memang secara sporadis datangnya
gangguan-gangguan, tembakan-tembakan dari orang tak dikenal atau
kelompok sipil bersenjata," ujar Boy.
Senin (7/11) kemarin, mobil patroli PT Freeport yang ditumpangi
Briptu Marselinus ditambaki kelompok bersenjata di Mile 45. Akibatnya,
Briptu Marselinus tertembak pada bagian pelipis, namun masih bisa
selamat.
Menurut Boy, upaya pengejaran terhadap pelaku penembakan Briptu
Marselinus juga terus dilakukan, termasuk dilakukan dengan penyisiran.
Menyikapi penembakan dan memanasnya suasana di Papua, Mabes Polri
kembali mengirim penyidik Badan Reserse Kriminal Polri. Tim berangkat
Senin malam, untuk membantu pelacakan pelaku sejumlah kasus penembakan
di areal tambang PT Freeport Indonesia.
"Tadi malam Direktorat I Bareskrim telah mengirimkan satu tim lagi ke
Freeport, ada empat orang, untuk membantu pelacakan penembakan di
sana," kata Kadiv Humas Polri, Irjen (Pol) Saud Usman Nasution.
Dengan penambahan ini, telah ada sekitar 34 petugas dari Mabes Polri
yang berada di Papua dalam rangka tugas penyelidikan sejumlah kasus
penembakan, termasuk penembakan terhadap pekerja PT Freeport saat unjuk
rasa di Terminal Gorong-gorong, 10 Oktober 2011 lalu.
Dengan tugas yang sama, Mabes Polri juga mengirimkan enam petugas
Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) ke Papua pada 4 Nopember 2011
lalu.
Ada pun Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko
Polhukam) Djoko Suyanto bereaksi atas tudingan sejumlah pihak terutama
Komnas HAM dan Kontras yang menyebut dugaan terjadi pelanggaran hak
azasi manusia di Papua.
"Ada gangguan keamanan tidak di sana. Saya tanya sekarang. Lalu, apa
responsnya? Jadi melihat begini aparat kepolisian dan aparat keamanan di
sana itu untuk menjaga keamanan jangan melihat dari soal yang lain.
Tidak ada gangguan keamanan, tidak ada tembak-menembak, masyarakat
ditembak. TNI ditembak, kepolisian ditembak, mana Komnas HAM bicara,
Kontras bicara," kata Djoko di Istana Negara Jakarta.
Dia mengatakan semua pihak termasuk Komnas HAM dan Kontras harusnya
berimbang dalam melihat soal Papua. "Ada juga aparat dan penduduk
ditembakin oleh kelompok-kelompok itu. Kalau tidak ada ancaman seperti
itu maka tidak ada polisi mengejar-ngejar. Harus liat konteks itu
keberadaan aparat disana itu untuk mencari pelaku yang melakukan aksi
kekerasan seperti itu," kata Djoko.
Sementara Polri membantah sengaja tak menangkap kelompok bersenjata
yang berulang kali melakukan penyerangan di Papua agar terus mendapat
sumbangan jutaan dolar AS dari PT Freeport Indonesia.
Melalui Kadiv Humas Polri Irjen (Pol) Saud Usman Nasution, Polri
menyatakan belum tertangkapnya pelaku penembakan di Papua, karena
pengejaran terkendala medan yang sangat sulit. Lagipula, korban tewas
akibat penembakan tersebut juga polisi, sehingga tak sebanding jika
harus dibayar dengan materi.
"Saya kira, siapa sih yang ingin mati. Berapa sih (sumbangan
Freeport, Red). Anda mau enggak seperti itu? Kan enggak mungkin kan.
Enggak ada lah itu. Berapa sih, cuma Rp 40 ribu per hari misalnya. Cukup
apa itu dibandingkan dengan nyawa? Saya kira enggak ada seperti itu
lah," kata Saud.
Berdasarkan laporan sementara yang diterima Mabes Polri, dana 14 juta
dolar AS dari PT Freeport yang dipermasalahkan saat ini, diperuntukkan
bagi 365 polisi yang tergabung dalam Satgas pengamanan areal tambang
dengan masing-masing menerima uang saku Rp 1,25 juta perbulan hingga
dalam bentuk sarana dan prasarana pengamanan. Itu berdasarkan MoU antara
PT Freeport dan Polda Papua sejak 2004. Uang saku Rp 1,25 juta
diperkirakan Rp 40 ribu perhari untuk setiap polisi.
Polri menganggap wajar pemberian dana tersebut sekaligus terpaksa
diterima, karena faktor kebutuhan anggota di medan yang terbilang sulit
dan belum adanya anggaran Polri untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Saud coba meyakinkan, bahwa polisi berusaha menangani sejumlah kasus
penembakan kelompok bersenjata di Papua secara profesional. "Kami
concern dan proporsional dalam hal ini. Kami melaksanakan tugas dan
memang kami memliki risiko di lapangan. Itu lah yang terjadi di
lapangan,"
|